“Biografi Syekh Abdul Muhyi”
Syeikh Haji Abdul Muhyi lahir di Mataram sekitar tahun 1650 M /1071 H dan
dibesarkan oleh orang tuanya di kota Gresik/ Ampel. Beliau selalu mendapat pendidikan agama baik dari orang tua
maupun dari ulama-ulama sekitar Ampel. Karena ketekunannya menuntut ilmu
disertai dengan ibadah disamping kesederhanaan dan kewibawaan yang menempel di
dalam diri beliau maka tak heran jika teman-teman sebaya selalu menghormati dan
menyeganinya.
Biografi
Syeikh Haji Abdul Muhyi
Pada
saat berusia 19 tahun beliau pergi ke Aceh/ Kuala untuk berguru kepada Syeikh
Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun yaitu dari tahun 1090 -1098 H/1669
-1677 M. Pada usia 27 tahun beliau beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya
ke Baghdad untuk berziarah ke makam Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim
di sana selama dua tahun. Setelah itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke
Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji.
Ketika
sampai di Baitullah, Syeikh Abdul Rauf mendapat ilham kalau diantara santrinya
akan ada yang mendapat pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila
sudah tampak tanda-tanda maka Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang
dan mencari gua di Jawa bagian barat untuk bermukim di sana.
Suatu
saat sekitar waktu ashar di Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung
menuju Syeikh Abdul Muhyi dan hal itu diketahui oleh gurunya (Syeikh Abdur
Rauf) sebagai tanda-tanda tersebut. Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf
membawa mereka pulang ke Kuala/ Aceh tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh
Abdul Muhyi disuruh pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua
karena telah diberi tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di
sana. Sebelum berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang
tuanya dengan “Ayu Bakta” putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Tak
lama setelah pernikahan, beliau bersama istrinya berangkat ke arah barat dan
sampailah di daerah yang bernama Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk
setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685
M). Kabar tentang menetapnya Syeikh Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar
oleh orang tuanya, maka mereka menyusul dan ikut menetap di sana.
Perjalan
Mencari Goa Pamijahan
Disamping
untuk membina penduduk, beliau juga berusaha untuk mencari gua yang
diperintahkan oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata
gagal karena hasilnya melimpah. Sedang harapan beliau sesuai isyarat tentang
keberadaan gua yang di berikan oleh syeikh Abdur Rauf adalah apabila di tempat
itu ditanam padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan
maka di sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya
Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk
melanjutkan perjalanan mencari gua.
Setelah
menempuh perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut
Selatan). Di sini beliau bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk
menyebarkan agama Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu
masih beragama Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah)
meninggal dan dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.
Beberapa
hari seusai pemakaman ayahandanya, beliau melanjutkan perjalan mencari gua dan
sempat bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga
sampai di Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M).
Walaupun
di Lebaksiu tidak menemukan gua yang di cari, beliau tidak putus asa dan
melangkahkan kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung
kampung Cilumbu.
Akhirnya
beliau turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan sambil
mencoba menanam padi.
Bila
senja tiba, beliau kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari
tempat ini tidak begitu jauh, +.6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering
membawa perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama “ Gunung Mujarod'
yang berarti gunung untuk menenangkan hati.
Pada
suatu hari, Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan
waktunya untuk dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan
terlihatlah kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya
tidak lebih dan tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini
sebagai tanda bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya
gua di dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada
Allah, semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah,
padi yang ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning,
lalu dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama.
Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa.
Sewaktu
Syeikh Abdul Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan
kicaun burung yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di
mana keadaannya sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua
tangannya diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah ditemukan gua bersejarah,
dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al Jailani menerima ijazah ilmu
agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Goa
yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syeikh
Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200 tahun sebelum Syeikh Abdul
Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan
Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana.
Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan
tharekat.
Menurut
pendapat yang masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui
thoriqoh mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/ kemursyidannya sampai
kepada Rasulullah Saw.
Berikut
silsilahnya:
Rasululah
Saw, Ali Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam
Muhammad Bakir, Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh
Muhammad Maghribi, Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh
Abdulah Satari, Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid
Muhammmad Ghoizi, Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib
Abdulah Ahmad, Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf,
Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Sekian
lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan
agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah
satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama
bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta.
Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih
Ibrahim.
Beberapa
lama setelah menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi
beserta santri-santrinya pindah ke daerah “Safarwadi". Di sini
beliau membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir hayatnya.
Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu menyebarkan
agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di Panyalahan, Eyang
Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem Sacaparana (Mertua Syeikh
Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya yang kini makamnya terkenal
dengan nama Bengkok.
Makam
ini banyak diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang
tersebar hingga pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk
menyebarkan agama Islam.
Dalam
menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah
yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh
metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu beliau melihat seseorang
yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak
mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya
meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi
mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim,
Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."
Setiap
kail dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian
ikan yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan
dan bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Beliau
menjawab, "Basmalah dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut
tertarik dengan do’a itu dan masuk Islam.
Disamping
ahli dalam llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu
hisab, ilmu pertanian dan juga ahli seni baca AIQur’an. Maka pada saat itu
banyak para wali yang datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti
waliyullah dari
Banten
Syeikh Maulana Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Tirtayasa keturunan Sultan
Hasanuddin bin Sultan G. Jatijuga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk,
Limbangan- Garut.
Dilarang
Merokok
Pada
suatu hari Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah dan hendak
pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang sampai dulu di Jawa
hendaklah menunggu di tempat yang telah disepakati.
Syeikh
Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah
bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya.
Ketika
Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau kedinginan lalu
berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk merokok tiba-tiba sekelilingnya
menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu semakin tebal. Maka beliau
teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh dan dirinya merasa berdosa.
Akhirnya
beliau segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu kabut hilang dan
perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan
rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya sedang untuk
keluarga dan pengikutnya dilarang merokok bila berdekatan dengannya. Karena
itu sampai saat ini di daerah Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang
telah ditentukan.
Pada
suatu hari beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syeikh
Abdul Muhyi berpesan kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan
istri ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah,
berbaktiiah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati
dan mulyakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang /ain,
sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang
menyusahkannya, kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan
hargailah sesamamu. Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang
penuh dengan duri."
Pada
hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal sholat shubuh,
belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam usia 80 tahun. Jenazah
ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga saat ini banyak orang
berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil membacakan do'a sebagai wujud
kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah yang telah berjuang
menyebarkan agama Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya.